“Yang merencanakan sesuatu…”
“…HARUS MATI!”
“AAAAHHH!”
Pekikan Eris terdengar mendominasi kamarnya. Ia terbangun—terbangun dari mimpi. Mimpi yang aneh baginya, karena baru pertama kali ia bermimpi seperti itu. Keringat mengucur dari atas sampai bawah kepala Eris. Nafasnya tersenggal—hingga ia haru memegang dadanya. Ia mencoba tenang, dan lebih tenang lagi.
Perlahan ia beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan keluar kamar. Setelah berjalan sebentar, ia sudah sampai di bingkai pintu dapur. Eris mengambil segelas air dingin dari lemari es, dan menenggaknya sampai habis.
“Mati…”
Ia terpikir lagi pada mimpi itu.
“Tapi siapa?”
Eris memijat dahinya perlahan dan mencoba melupakan mimpi yang baru dialaminya tadi. Tidak lama ia melihat jam dinding yang terpampang dibelakangnya. Sudah hampir tengah malam, ia tidak mau kalah dengan ketakutan yang baru dialaminya. Ia akhirnya berusaha untuk tidur sambil meredam rasa takutnya sedikit-demi sedikit.
Berhasil memang.
__..oOo..__
09.00 am – at SchoolEris, Rere, Audrey. Tiga gadis itu sedang duduk ditaman sambil menikmati santainya jam istirahat sekolah. Hanya tiga? Kemana Anna?
“Waaaaiiiiii!!!”
Ketiga gadis itu merasa terpanggil oleh suara lembut itu. Itu dia Anna.
Anna berlari menghampiri mereka yang sedang duduk lesehan dibawah pohon yang rindang. Mereka tidak merespon Anna, mereka hanya menatap Anna yang berlari sambil mengunyah atau menyedot minuman dari gelasnya.
“Apa An?” Respon pertama dari mereka, yaitu dari Rere
“Aku Cuma mau kasih tahu sesuatu ke kalian semua… itu…” Jawab Anna terputus
“Kasih tahu apa? Penting?” Tanya Audrey
Anna terdiam sebentar sambil menatap masing-masing sepasang mata temannya. Keringat mengucur turun dari kepalanya.
“Ini soal keanehan kemarin, nomor aneh itu…” Ujar Anna pelan
“Apa An? Kamu tahu siapa yang nelfon?” Sambut Eris sambil menghentikan aktivitas mengunyahnya
“Jadi gini, kemarin malam gue ceritain tentang kejadian di rumah sakit sama yang di café, dia punya diagnosa atas kejadiannya…”
Yang mendengarkan menatap Anna begitu serius.
“Dia bilang, kalau semua itu dibikin sama hantu”
Ketiga sisanya tersentak dengan mata terbelalak. Mereka tidak menyangka bahwa Anna akan mengatakan hal barusan. Hantu katanya?
“Lo serius—maksudnya, temen lo serius gak?” Tanya Rere langsung
“Dia serius! Dia sampai menceritakan tentang hantunya! Masa’ kayak gitu dikira bohong?” Balas Anna
“Dia ngomong apa?” Tanya Eris
“Jadi, katanya disini pernah ada cewek yang menghilang misterius, sekolah tidak tahu dia kemana bahkan orangtuanya tidak tahu juga… dan hari tanggal dia meninggal itu tanggal satu April!” Jawab Anna
“Kemarin dong—“
“Jadi dia nganggap semua ini ulah hantu? Dan kalian juga akan percaya ini ulah hantu?” Tanya Audrey memutus kalimat Rere
Semuanya saling bertatapan, saling mempertanyakan apa yang mereka tanggapi dari pertanyaan Audrey. Mereka seperti ragu-ragu menjawabnya, percaya atau tidak.
“Bisa jadi Drey…” Ucap Rere pelan
“Iya, semuanya bisa jadi mungkin kalau untuk makhluk halus, nanti kita cari tahu dulu tentang diagnosa ini, kalau kurang masuk akal… ya kita selidiki diagnosa yang lain” Tambah Eris
Audrey menatap tajam ketiga temannya.
“…Nih, gue bilang dari awal ya… gue gak bakal percaya kalau ini ulahnya makhluk halus, gue gak pernah percaya sama hantu…” Balas Audrey sambil mengambil minuman sodanya
“Tapi, gue setuju dengan Eris… kita harus selidiki dulu” Lanjut Audrey
.
.
.
Percaya?
Memangnya apa yang bisa kau percaya sekarang?
__..oOo..__
16.45 pm – at School
Bel pulang sekolah sudah lama berbunyi. Lapangan sekolah yang tadinya diisi oleh murid-murid yang berhamburan menuju pagar sekolah, sekarang sudah sepi. Rere hanya bisa melihat itu dari lantai tiga sekolah. Ya, dia tidak langsung pulang. Dia dan ketiga sahabatnya itu berjanji akan berkumpul dulu untuk menyelidiki. Sekarang ia menunggu Anna selesai dengan ekskul paduan suaranya.
“Re! ayo ke lantai bawah!” Seru Anna sambil menarik lengan Rere
Rere hanya tersenyum sambil mengikuti Anna dari belakang. Mereka berdua menuruni tangga satu persatu untuk menuju lantai bawah. Ketika sudah sampai tangga terakhir, ternyata Audrey dan Eris sudah menunggu dibawahnya.
“Gue udah tanyain beberapa temen gue yang tahu tentang itu” Ujar Audrey kepada mereka berdua
“Oh! Apa katanya?” Tanya Anna
“Kata mereka, murid cewek yang menghilang itu dari angkatan 1990-1991… kita bisa cari tahu datanya lewat pengurus sekolah” Jawab Audrey sambil mulai melangkah
Mereka bertiga mengekori Audrey yang sudah mereka anggap akan membawa mereka pada ruang pengurus sekolah.
“Wew… tahun segitu gue belum lahir kali…” Sahut Rere
“Jadi kita mulai bertanya pada pengurus dulu tentang gadis itu?” Tanya Eris
“Iya, sampai seterusnya penyelidikan ini selesai” Jawab Audrey yang mulai memelankan langkah kakinya karena sudah dekat dengan ruang pengurus kelas
Audrey mengetuk pintu beberapa kali dan membukanya perlahan. Mereka berempat satu persatu memasuki ruangannya. Disana sudah terdapat seorang lelaki yang sudah cukup berumur sedang menyusun berkas-berkas di lemari. Tidak lama setelah mereka memasuki ruangan, lelaki itu menyadari kehadiran mereka berempat.
“Ada yang bisa dibantu?” Sambut bapak itu sambil menghentikan aktivitasnya
“Kita… mau bertanya tentang sedikit informasi pak” Jawab Audrey sambil mendekatinya
“Silakan kalian duduk dulu” Ucap bapak itu menawarkan
Eris dan Audrey menduduki dua kursi yang tersedia sementara Anna dan Rere duduk di sofa untuk tamu. Bapak itu duduk menghadap Eris dan Audrey. Jarak mereka hanya dihalangi oleh meja kerja.
“Jadi, kita berempat ingin tanya sesuatu tentang data murid disini” Ucap Audrey sambil menatap Eris
“Untuk apa?” Tanya Bapak itu
“Eh? Ehm, untuk…”
“Tugas mading!” Seru Anna
“I—iya, kita disuruh membuat artikel tentang… murid-murid di sekolah ini” Sambung Eris
Bapak itu mengangkat alisnya sebelah dan memasang wajah penuh kecurigaan “Apa yang kalian ingin ketahui?”
“Bapak tahu siswi yang menghilang secara misterius pada angkatan 1990-1991?” Tanya Audrey serius
Bapak itu terdiam sebentar sambil menyebar tatapannya pada keempat gadis itu “…Ya, saya tahu”
“Kami ingin tahu tentang dia pak, bersediakah bapak memberitahunya?” Tanya Eris
“Boleh saja…”
Si bapak beranjak dari kursi putarnya dan berjalan menuju lemari berkas yang tadi. Ia mengambil satu berkas berwarna biru yang tebal dan membawanya keatas meja kerja.
“Bapak masih menjadi guru saat ia bersekolah disini, dia itu anak yang pendiam dan selalu menutup diri, kebetulan saat itu bapak menjadi wali kelasnya saat kelas sembilan, bapak selalu menyuruhnya untuk menceritakan masalah yang ia ketahui sekarang, tapi dia enggan” Jelas bapak itu sambil membalik lembar per lembar berkas itu
“Ini dia anaknya” Ucap bapak itu ketika sudah berhenti di salah satu halaman
Audrey dan Eris segera memperhatikan halaman itu. Bahkan Anna dan Rere pun segera beranjak menghampiri mereka berdua untuk melihatnya. Datanya terekspos jelas oleh monitor mata mereka. Nama anak itu Liana Vearisha. Dia terlihat kalem di photo berukuran 3x4 yang terdapat disana.
“Dia menghilang pada pertengahan semester dua kelas tiga, karena menghilangnya sangat misterius, orangtuanya menganggap ia sudah meninggal” Lanjutnya
Mereka berempat membisu dan saling bertatapan satu sama lain. Rere menurunkan alisnya dan memperlihatkan wajah masam pada teman-temannya. Ia akhirnya turun tangan juga.
“Setahu bapak, siapa teman terdekatnya semasa sekolah?” Tanya Rere
Bapak itu terdiam sebentar sambil mengarahkan pandangannya dengan sembarang “Maria… ya, seingat bapak dia orangnya, dia juga sering memperhatikan Liana, hanya dia satu-satunya teman Liana”
“Maria! Maria… Maria… Maria…” Seru Rere sambil membolak-balik halaman berkas
Sambil menepuk punggung Rere, Anna berkata “Halah! Dikirain kamu tahu Maria…”
Semuanya mengerubungi berkas diatas meja kerja itu lagi. Rere berdiri setengah duduk dan posisinya menyempil diantara kursi Eris dan Audrey. Ia sibuk meneliti satu-persatu halaman berkas itu, dan tidak lama ia menemukannya.
“Ini dia! Ini si Maria!” Seru Eris sambil menepuk-nepuk halamannya
“Catat kontak-nya! Catat!” Lanjut Audrey menyeru
Anna langsung merogoh kantung kemejanya dan menulis kontak itu di note. Sementara Eris segera mengamati benar-benar rupa wajahnya.
“Sip, ayo kita ketemu sama dia” Kata Audrey sambil bangkit dari duduknya
Semuanya pun sudah mengambil langkah untuk keluar dari ruang pengurus sekolah. Tak lupa mereka berempat berterima kasih pada bapak itu. Mereka langsung membuat janji dengan Maria. Dan janji itu langsung disetujui, mereka akan mendatangi rumah Maria secepatnya.
__..oOo..__
17.17 pm – Maria’s HouseMereka sampai, sampai di kediaman yang cukup besar dengan dekorasi berwarna kelabu. Rumah ini pun jauh jaraknya dari masyarakat yang lain. Terlebih lagi, rumah ini berada tepat di bawah bukit kecil yang penuh pepohonan. Memang rumah ini masih memasuki perumahan penduduk, tapi terletak di ujungnya. Seperti… terasing.
Dengan sedikit rasa merinding mereka memberanikan diri melangkahkan kaki melewati gerbang rumah yang dibiarkan terbuka oleh pemiliknya. Memang sedikit ada ragu dengan rumah ini, rasa ragu itu juga tercampur rasa takut, takut dengan gambaran wujud pemiliknya.
Akhirnya mereka sampai di depan pintu.
Audrey mengetuk pintunya perlahan, mungkin ia takut merusakkan pintunya karena sudah cukup lapuk kayunya. Tapi mereka jadi bingung karena tidak ada yang menjawabnya. Keraguan mereka makin menjadi.
“Coba lagi lah Drey…” Perintah Rere pada Audrey
Audrey menjalankan perintah Rere tadi, ia mengetuk pintu itu sampai dua kali rangkaian ketukan. Tapi hasilnya tetap nihil, tidak satu pun orang yang meladeni mereka.
“Sudah lah… gue yakin kita pasti salah alamat…” Ujar Anna sambil menerawang setiap sisi-sisi rumah itu
Audrey mengangguk, “Ya udah, kita cari lagi besok… sekarang sudah terlalu sore” Balas Audrey sambil berbalik haluan dan juga diikuti teman-temannya
.
.
.
“Kalian tidak salah…”
Semuanya langsung terkejut dengan suara yang ‘memanggil’ mereka. Dengan cepat mereka memutar badannya. Mereka yakin itu dia, dan memang harus dia. Maria, seorang wanita muda yang memakai baju terusan warna putih kusam. Ia seperti warga negara asing, kulitnya putih pucat, dengan rambut kuning kecoklatan.
“Aku Maria, aku sudah tau maksud kedatangan kalian kemari…” Maria melanjutkan kalimatnya sambil mempersilakan mereka masuk
Tanpa basa-basi mereka mengikuti Maria kedalam. Mereka sangat terperangah melihat interior dalam rumahnya yang cukup gothic. Warna kelabunya tidak hilang di interior itu, dan juga berbagai macam foto dan pajangan menempel di dinding. Api di perapian yang berbahan keramik dibiarkan menyala, terasa aroma kayu pinus memenuhi ruangan.
“Anda tadi bilang tahu maksud kami kan? Kalau begitu cepat jelaskan sekarang” Ucap Audrey tegas
“Sabarlah… lebih baik kita bercerita dengan santai sambil ditemani teh hijau… teh hijau itu juga berfungsi menenangkan pikiran lho…” Balas Maria dengan lembut
“Duduk dulu Drey..” Ujar Eris
Audrey menghela nafas beratnya sambil duduk di sofa yang sama dengan teman-temannya.
“Rumahnya serem banget ya Re…” Ujar Anna pelan
“Hush! Bodoh! yang punya denger gimana?!” Sahut Rere sambil menepuk paha Anna
“Tapi apa kalian nggak pada heran? Masa’ ada gitu orang yang rumahnya jauh dari pemukiman penduduk?” Tanya Audrey pada ketiga temannya
Mereka terdiam sebentar.
“Pasti ada alasannya Rey…”
Audrey hanya diam ketika Eris menjawab pertanyaannya, tanda ia cukup puas dengan jawaban Eris. Tidak lama setelah percakapan itu selesai, Maria muncul dan menghampiri mereka dengan baki yang berisi teko dan beberapa cangkir.
“Ayo cicipi! tehku nomor satu di dunia lho!” Seru Maria sambil meletakkan baki itu diatas meja
Mereka masih terdiam ketika Maria sudah duduk pada single sofa yang besar. Pandangan empat anak itu tertuju pada Maria.
“Oke… kalian benar, aku Maria… teman Liana dulu sewaktu SMA… panggil saja aku Maria” Kata Maria sambil menyilangkan kakinya
“Baiklah, Maria… jelaskan kami tentang temanmu itu… kejadian yang sebenarnya…” Balas Eris
“Hmm… Sebelumnya, beritahu aku dulu maksud tersirat kalian datang kesini, pasti bukan hanya karena Liana kan?” Tanya Maria sambil mengambil cangkir tehnya
Mereka berempat hanya bisa saling berpandangan ketika Maria mengucapkan kalimatnya
“Oke kalau kau mau tahu… Tanggal satu April kemarin, kami membuat jebakan April fool’s pada dia…” Jawab Audrey sambil menunjuk Eris
“Oh… Lalu?” Sahut Maria setelah selesai menyeruput tehnya
“Tapi ternyata yang ikut mengerjainya bukan hanya kami bertiga saja, tapi ada ‘pihak’ lain…” Lanjut Audrey dengan wajah serius
“Ah… begitu rupanya… sebenarnya itu salah kalian juga…” Balas Maria
“Apa maksudmu?” Sahut Audrey dengan pertanyaan
“Oh… mereka kejam Liana… mereka terus memaksaku untuk mengatakannya…” Ucap Maria pelan tanpa jawaban
Audrey menaikkan alisnya sebelah, sementara yang lainnya demikian halnya dengan Audrey, tidak tahu apa maksud kalimat Maria tadi.
“Liana pasti sedang marah kepada kalian, hari kematiannya yang paling menyedihkan dijadikan hari untuk bersenang-senang melihat penderitaan orang lain… Apalagi hari itu kalian menjahili anak ini dengan mempermainkan kematian… Pasti sungguh sakit hati Liana…” Ujar Maria lirih tapi dipenuhi senyum
Audrey hanya bisa terkejut ketika Maria tahu bahwa ia mengetahui rencananya saat kejadian kemarin. Ya, ia pura-pura meninggal di depan Eris.
“Oleh karena itu aku membenci hari itu, ketika aku tidak berdaya untuk menolong Liana yang membutuhkan bantuan” Lanjut Maria sambil mengedarkan pandangannya pada empat gadis itu
“Memangnya apa yang sebenarnya terjadi pada Liana pada hari itu?” Tanya Eris
“Sama sepertimu, kami berdua dijahili oleh teman kami yang lainnya yang sepertinya tidak suka dengan persahabatan kami… tapi kejahilan yang mereka berikan pada kami lebih menyakitkan daripada yang kalian buat…” Ujar Maria terputus
Semuanya terlihat serius sehingga tercipta suasana yang makin tegang.
“Mereka memanggil orang untuk menculik kami, kami diculik oleh sekelompok lelaki asing, lalu kami disekap dalam ruangan tertutup, saat itu kami langsung membuat rencana kabur ketika pintu dibuka, kami memanfaatkan barang-barang yang tersedia untuk membuka ikatan tali dan akhirnya berhasil pada saat pintu akhirnya terbuka karena sekelompok lelaki asing itu masuk…”
“…Ternyata mereka berniat memperkosa kami berdua, mereka berhasil menahan serangan Liana, tapi aku berhasil kabur karena kekuatan orang-orang itu tidak cukup kuat untuk menandingi kekuatanku, walaupun masih ada satu orang yang mengejarku saat itu… tapi aku berhasil kabur dari jangkauan mereka”
Semuanya terperangah mendengar cerita Maria tadi. Mungkin sungguh terdengar kejam bagi mereka.
“Saat itu aku berlari sambil menangis, menangis karena jeritan minta tolong Liana terus terngiang di telingaku… ketika aku pulang kerumah, aku langung melaporkan hal ini pada orang tuaku, mereka sungguh marah dan langsung memindahkan aku kesekolah lain karena hal itu, tapi kepala sekolah menutupi kejadian itu juga dan mereka menganggapnya hanya angin lewat” Lanjut Maria lagi sambil menghembuskan nafasnya
Semuanya terdiam terhenyak kesunyian.
“Lalu bagaimana keadaan Liana setelah anda kabur?” Tanya Rere pelan
“Kurasa ia benar-benar dianiaya disana, dianiaya… hingga mati” Ujar Maria pelan membalas pertanyaan Rere
Audrey terlihat kesal dengan gambaran raut wajahnya, ia berkata “Lalu apa hubungannya dengan kejadian yang menimpa kami?”
“Ah, asal kalian tahu… sudah banyak orang yang datang kesini dan memintai penjelasanku… dan cerita mereka sama seperti cerita kalian ini” Jelas Maria
“Jadi… kita berempat semacam… dihantui dia?” Tanya Rere
“Istilahnya mungkin begitu, biasanya kejadian aneh akan menimpa mereka pada tanggal ganjil seperti tanggal satu, tiga, dan seterusnya… jadi besok hati-hati saja ya…”
PRAANGG!!
“BULLSHIT TAU SEMUA OMONGAN LO ITU! LO KIRA GUE SEMUDAH ITU PERCAYA SAMA BUALAN LO TADI?! BULLSHIT!!” Bentak Audrey setelah ia membanting cangkir tehnya
“Drey!! Lo kenapa sih?!” Rere mulai terbawa dalam suasana amarah Audrey
“Kalian percaya langsung percaya sama cerita dia, hah?! Dia itu gila! Ceritanya gak dimasuk akal… ayo kita pergi dari sini! Pulang!!!” Seru Audrey sambil bangkit dari sofa
“Tapi Drey—“
“PULANG!!!”
Maria masih duduk dan terlihat tenang. Ia hanya tersenyum melihat tingkah empat remaja ini. Mereka berempat mulai melangkahkan kaki keluar tanpa pamit padanya, terkecuali Eris. Eris sempat menatap Maria yang masih tersenyum manis.
“Aku sudah peringatkan lho… besok kalian harus hati-hati…” Ujar Maria pelan
Eris hanya mengangguk kecil diikuti dengan langkah kakinya keluar.
.
.
.
.
.
“Sudah waktunya balas dendam ya…”
“…Liana~?!” To be Continued
__..oOo..__