[PRIVATE] Vacation!!

First topic message reminder :

Setelah lama nggak ngebuka topik RP, here it is! Silakan ber-RP ria disini [s]dan berhubung ini free RP, silakan gila-gilaan!![/s]

Timeline: Tahun 2010
Place: INDONESIA :iconleleleplz:
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Setelah lama tidak mendatangi toko sihir aneh itu, Aria dan Arren menemukan bahwa si penjaga toko tengah membuat ramuan mesin waktu!! Tentunya, dua anak ini langsung menawarkan diri buat nguji coba ramuan aneh itu.

"Tapi, ajak juga yang lain. kalau banyak yang ikut, kemungkinan bertahan hidupnya juga lebih besar. Soalnya, tempat dan waktu dipilih secara acak"

... dan begitulah yang dikatakan si pemilik toko. Dan langsung saja, dua anak itu tancap gas buat nyari korba--err... maksud saya, kelinci percobaan lain /slap

Dan setelah semuanya siap, mereka pun siap pergi!

Sungguh tindakan yang sangat tidak terprediksikan.

...Itulah yang sekarang ada di hati Minachi, ...dan juga PM. Arren benar-benar pergi, meninggalkan rasa heran dalam pikiran Minachi. Apa tadi ia keracunan makanan hotel? Tidak mungkin, kalau benar-benar salah makan, pasti Minachi juga merasakannya. Jadi dia kenapa ya?

Duh,

Penting banget buat dipikirin.

Akhirnya Minachi fokus kembali pada antriannya. Sepertinya memang akan berjalan cukup lama, dia saja masih berada di bagian ujung antrian. Mungkin akan memakan waktu hampir satu jam.

"...Heh?"

Minachi menaikkan alisnya pada papan yang peringatan di samping antrian itu. 'Dilarang menaiki wahana ini jika; -Mempunyai penyakit -Mempunyai tinggi kurang dari 150cm.

...Tinggiku berapa ya?

"nah loh...", ujar Aria saat melihat papan bertuliskan tinggi standar pemain itu. Dia melihat Minachi, dan berusaha menebak tingginya.

"dibawah 150? Diatas sedikit? Pas-pasan?", tebakannya pun tak melahirkan jawaban pasti. Bertanya pun, empunya tidak tahu apa-apa.

Apa ini artinya dia akan menaiki ini sendirian? Padahal, yang dari tadi bersikeras ingin menaikinya adalah Minachi. Tentu tak enak rasanya kalau harus menikmati wahana ini tanpanya.

Dia kembali melihat papan pengumuman itu, dan menyadari sesuatu. "Minachi, Minachi, coba ke sana, deh. Kayaknya tinggi papan itu pas 150 cm", ujarnya.

MINACHI MERASAKAN DISKRIMINASI NON VERBAL.

*Matiin caps*

Minachi mendengus pelan sambil menatap Aria dengan mata yang makin menyipit. "NGGAK!! KALO AKU JATUH JUGA BODO AMAT" Minachi mulai panas, apalagi antriannya juga masih terbilang panjang.

Antriannya mulai berjalan lagi, dan papan jahanam musuh Minachi itu juga berlalu. Setelah menghabiskan hampir satu jam, dan ternyata Arren tidak datang lagi ke antrian untuk... yah... --blablaAriablablaadikku!! Mereka berdua masih bertahan di antrian itu walaupun banyak mengeluh panas, lama, dan umpatan-umpatan lainnya. Akhirnya mereka sampai di kepala antrian!

Minachi benar-benar tidak sabar.

Pintu menuju neraka wahana itu sudah tepat di depan wajah mereka. Sungguh lega melihat penantian mereka terbayar, walaupun tak dapat di sangkal degupan-degupan jantung terasa makin keras bergema.

"semoga saja nggak ada yang memperhatikan Minachi...", gumam Aria yang tidak terlalu yakin anak itu tingginya diatas 150 cm. Tak lama, wahana itu pun menyelesaikan satu ronde. Melihatnya dari dekat membuat mereka lebih dapat merasakan feel wahana tersebut.

Ketegangan pun memuncak menggantikan rasa lega saat penjaga gerbang itu mempersilakan mereka masuk. Walaupun agak gugup, Aria berusaha menyembunyikannya. Dia mengambil tempat duduk di paling depan dengan wajah setenang mungkin.

"ini pasti aman, ini pasti aman, ini pasti aman... Kalau nggak, mana mungkin dibolehkan ada? Lagipula, dari tadi semua yang naik masih hidup dan sehat-sehat saja", Aria menenangkan hatinya dengan panjang lebar. Kata-kaya itu tidak dia ucapkan, hanya mengulangnya dalam hati untuk mendatangkan ketenangan.

Sementara itu, Arren yang melihat Aria dan Minachi sudah di atas kereta luncur benar-benar tidak peduli lagi akan sekitarnya. Matanya terpaku menatap adiknya yang mungkin saja akan mengalami kenangan buruk.

"orang-orang ini dari tadi menjerit histeris, dan itu artinya, Aria juga akan menjerit. Tapi, dia tetap bersikukuh ingin mencoba. Dan aku tidak akan ada di sana untuk menenangkannya. Aku tidak akan ada di sana untuk menghilangkan ketakutannya dan dia akah menghajarku sekembalinya dari sana. Aaah, bodoh sekali aku ini!! Walaupun Aria juga butuh waktu tanpaku, tapi tetap saja--!! Tidak, tidak, tidak, aku tidak boleh memakan privasinya. Aaagh!! Tapi--!!"

Arren sedang berdebat dengan kepalanya sendiri tanpa memedulikan apapun. Kasihan dia, dia terserang pilar kegalauan. Di lain pihak, Aria dan Minachi yang sudah menempati tempat duduk, diberitahu pemandu wahana untuk mengenakan atribut keamanan.

"pastikan semuanya terpasang dengan baik, demi keselamatan kalian", ujar si pemandu pada semua peserta. Tentu saja, tak butuh waktu lama menunggu karena beberapa dari mereka sudah memasang dari sebelum si pemandu berkata. Si pemandu menadatangi sebuah mesin penuh tuas dan tombol, kelihatannya itu adalah mesin pengendali wahana ini.

"siaaap... Mulai!!"

Pintu menuju neraka wahana itu sudah tepat di depan wajah mereka. Sungguh lega melihat penantian mereka terbayar, walaupun tak dapat di sangkal degupan-degupan jantung terasa makin keras bergema.

"semoga saja nggak ada yang memperhatikan Minachi...", gumam Aria yang tidak terlalu yakin anak itu tingginya diatas 150 cm. Tak lama, wahana itu pun menyelesaikan satu ronde. Melihatnya dari dekat membuat mereka lebih dapat merasakan feel wahana tersebut.

Ketegangan pun memuncak menggantikan rasa lega saat penjaga gerbang itu mempersilakan mereka masuk. Walaupun agak gugup, Aria berusaha menyembunyikannya. Dia mengambil tempat duduk di paling depan dengan wajah setenang mungkin.

"ini pasti aman, ini pasti aman, ini pasti aman... Kalau nggak, mana mungkin dibolehkan ada? Lagipula, dari tadi semua yang naik masih hidup dan sehat-sehat saja", Aria menenangkan hatinya dengan panjang lebar. Kata-kaya itu tidak dia ucapkan, hanya mengulangnya dalam hati untuk mendatangkan ketenangan.

Sementara itu, Arren yang melihat Aria dan Minachi sudah di atas kereta luncur benar-benar tidak peduli lagi akan sekitarnya. Matanya terpaku menatap adiknya yang mungkin saja akan mengalami kenangan buruk.

"orang-orang ini dari tadi menjerit histeris, dan itu artinya, Aria juga akan menjerit. Tapi, dia tetap bersikukuh ingin mencoba. Dan aku tidak akan ada di sana untuk menenangkannya. Aku tidak akan ada di sana untuk menghilangkan ketakutannya dan dia akah menghajarku sekembalinya dari sana. Aaah, bodoh sekali aku ini!! Walaupun Aria juga butuh waktu tanpaku, tapi tetap saja--!! Tidak, tidak, tidak, aku tidak boleh memakan privasinya. Aaagh!! Tapi--!!"

Arren sedang berdebat dengan kepalanya sendiri tanpa memedulikan apapun. Kasihan dia, dia terserang pilar kegalauan. Di lain pihak, Aria dan Minachi yang sudah menempati tempat duduk, diberitahu pemandu wahana untuk mengenakan atribut keamanan.

"pastikan semuanya terpasang dengan baik, demi keselamatan kalian", ujar si pemandu pada semua peserta. Tentu saja, tak butuh waktu lama menunggu karena beberapa dari mereka sudah memasang dari sebelum si pemandu berkata. Si pemandu menadatangi sebuah mesin penuh tuas dan tombol, kelihatannya itu adalah mesin pengendali wahana ini.

"siaaap... Mulai!!"

Pintu menuju neraka wahana itu sudah tepat di depan wajah mereka. Sungguh lega melihat penantian mereka terbayar, walaupun tak dapat di sangkal degupan-degupan jantung terasa makin keras bergema.

"semoga saja nggak ada yang memperhatikan Minachi...", gumam Aria yang tidak terlalu yakin anak itu tingginya diatas 150 cm. Tak lama, wahana itu pun menyelesaikan satu ronde. Melihatnya dari dekat membuat mereka lebih dapat merasakan feel wahana tersebut.

Ketegangan pun memuncak menggantikan rasa lega saat penjaga gerbang itu mempersilakan mereka masuk. Walaupun agak gugup, Aria berusaha menyembunyikannya. Dia mengambil tempat duduk di paling depan dengan wajah setenang mungkin.

"ini pasti aman, ini pasti aman, ini pasti aman... Kalau nggak, mana mungkin dibolehkan ada? Lagipula, dari tadi semua yang naik masih hidup dan sehat-sehat saja", Aria menenangkan hatinya dengan panjang lebar. Kata-kaya itu tidak dia ucapkan, hanya mengulangnya dalam hati untuk mendatangkan ketenangan.

Sementara itu, Arren yang melihat Aria dan Minachi sudah di atas kereta luncur benar-benar tidak peduli lagi akan sekitarnya. Matanya terpaku menatap adiknya yang mungkin saja akan mengalami kenangan buruk.

"orang-orang ini dari tadi menjerit histeris, dan itu artinya, Aria juga akan menjerit. Tapi, dia tetap bersikukuh ingin mencoba. Dan aku tidak akan ada di sana untuk menenangkannya. Aku tidak akan ada di sana untuk menghilangkan ketakutannya dan dia akah menghajarku sekembalinya dari sana. Aaah, bodoh sekali aku ini!! Walaupun Aria juga butuh waktu tanpaku, tapi tetap saja--!! Tidak, tidak, tidak, aku tidak boleh memakan privasinya. Aaagh!! Tapi--!!"

Arren sedang berdebat dengan kepalanya sendiri tanpa memedulikan apapun. Kasihan dia, dia terserang pilar kegalauan. Di lain pihak, Aria dan Minachi yang sudah menempati tempat duduk, diberitahu pemandu wahana untuk mengenakan atribut keamanan.

"pastikan semuanya terpasang dengan baik, demi keselamatan kalian", ujar si pemandu pada semua peserta. Tentu saja, tak butuh waktu lama menunggu karena beberapa dari mereka sudah memasang dari sebelum si pemandu berkata. Si pemandu menadatangi sebuah mesin penuh tuas dan tombol, kelihatannya itu adalah mesin pengendali wahana ini.

"siaaap... Mulai!!"

Setelah membangunkan sang PM yang nganga sehabis membaca post sebelumnya, Minachi kembali lagi pada wahana yang ia tunggu-tunggu itu. Ia dan Aria menaiki gerbong (?) paling depan, tentu saja sensasinya akan lebih mantap dari yang lain.

Perasaan bocah itu sangat sangat excited, posenya menunjukkan pose :iconlaplz:. Tak sengaja, telapaknya menyenggol tangan Aria. Tangan Aria terasa lebih dingin. Jangan-jangan dia gugup? Minachi tertawa kecil, bersamaan dengan itu, keretanya mulai berjalan.

Seperti biasa, kereta itu berjalan pelan-pelan di lintasan awal yang datar. Senyum Minachi melebar sampai tiga jari. Keretanya sudah sampai pada lintasan yang menanjak, dan...

Turuuuuun dengan kecepatan yang juga menanjak.

"KYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!1111"

Minachi berteriak sekencang-kencangnya, entah karena apa dia pun tidak tahu. Mungkin karena penikmat (?) yang sebelumnya juga berteriak?. Selain itu, kepalanya juga terombang-ambing kesana kemari. Dan semua itu ia resapi rasanya dalam-dalam (?).

Kereta akhirnya berhenti, durasinya SANGAT CEPAT.

Mereka berdua menghampiri Arren.

"Yang tadi seru banget!! ayo kapan-kapan kita ngantri lagi!" Seru Minachi masih mempertahankan senyum lebarnya.

Kereta yang turun mendadak dengan kecepatan tinggi, kereta yang berputar 360 derajat dengan kecepatan tinggi, dan lintasan yang agak miring. Sungguh menegangkan. Atau, mungkin lebih ke takut. Wajah Aria pucat, tangannya pun mendingin. Tetes keringat pun jatuh dari pipinya.

"itu tadi... Apa?"

satu pengalaman mengerikan terukir dalam ingatannya. Sesuatu yang takkan ia lupakan sampai akhir hayatnya. Kalau pengaman itu rusak, atau kereta itu berhenti, dia pasti sangat panik.

"Aria!! Kamu nggak apa-apa?!", beda dari yang tadi, Arren langsung tancap gas untuk menenangkan adik kesayangannya. "uwaa... Tanganmu dingin..."

"a--aku nggak ketakutan!! Jangan salah sangka!!", Aria langsung menepis tangan Arren yang menggenggam tangannya. Wajahnya memerah, malu sudah mempermalukan dirinya di depan Arren. "ini cuma karena kena angin!!"

"emang ada yang bilang kamu ketakutan?", ujar Arren dalam hati. Dia pun mempersiapkal langkah selanjutnya. "sudah, sudah... Ayo sini sama kakak...", Arren langsung memeluk Aria hangat, yang berujung pada bekas sol sepatu di wajah Arren.

"udahlah!! Ayo kita cari wahana lain!!"

Kakak beradik itu mulai lagi, dan tanpa disadari butler yang biasa menjinaki prilaku Arren, keberadaannya menipis. Kemana dia?

Sudahlah, nanti juga datang sendiri.

Minachi kembali menaikkan jiwa kenekatannya dengan menunjuk sebuah wahana berbentuk kapal yang diombang-ambingkan ke kiri ke kanan, bahkan hampir terlihat berputar satu lingkarang penuh. Mata Minachi yang masih normal cukup bisa membaca nama wahana itu, Kora Kora.

"Gimana kalau itu?! yang naik teriak juga, sama kayak tadi! Pasti juga seru!!" Usul Minachi penuh semangat, tanpa peduli perutnya yang mulai lapar... lagi.

Arren melihat wahana ekstrim itu. Dia takut Aria akan jatuh di sana. Tapi, adiknya tentu tak mau kehilangan harga dirinya lebih jauh. "aku ikut!!", serunya penuh semangat anti-kalah. "aku juga!!", dan kali ini, suara lain berseru dengan semangat perlindungan.

Mereka pun mengantre untuk menaiki wahana itu. Antriannya tidak sepanjang kereta tadi, dan muatannya sepertinya lebih banyak. Waktu mereka tidak akan banya terbuang untuk kapal goyang ini. Dan itu berita bagus.

"tenang saja, Aria... Ada kakak di sini", bisik Arren lembut di dekat telinga Aria. Napasnya menghangatkan telinga Aria, begitu pula tangannya yang menggenggam tangan adiknya dengan penuh kasih sayang.

"apa, sih?! Emangnya kamu pikir aku takut?!", hardik Aria dengan wajah memerah. Dia mengibas tangannya untuk melepas genggaman itu, dan menjauh beberapa cm dari Arren. "aku nggak takut! Dan aku nggak butuh bantuanmu!", Aria melipat tangannya kesal.

"ah, Aria malu-malu~ manisnyaaa~", Arren mencubiti pipi Aria pelan, yang berakhir dengan berubahnya warna tangannya menjadi merah.

'plak!'

"jangan sentuh!!", seru Aria lagi. Mereka pun melanjutkan obrolan(?) yang makin lama makin panjang itu. Rasanya tak ada ujungnya kalau mereka berdua berdebat tentang hal seperti ini. Volume suara mereka yang besar menarik perhatian orang-orang di sekitar mereka. Menarik perhatian dalam konteks negatif.

"ini berdua ribut banget, deh..."

"apa, sih? Berantem sama pacar?"

"teriak-teriak, Ganggu banget sih ini dua bocah!"

"anak zaman sekarang... Ckckck..."

bisikan-bisikan yang tidak mengenakkan mulai memasuki telinga mereka. Spontan, hal itu membuat mereka berhenti bertengkar satu sisi dan kembali melihat ke depan. Aria menunduk malu dengan wajahnya yang makin memerah, "sial... Malu-maluin aja, sih... Dasar Arren bego!", bisiknya pelan.

Beberapa detik kemudian, pintu untuk memasuki wahana itu dibuka kembali. Akhirnya, tiba juga giliran mereka. Arren langsung menyambar tangan Aria dan menariknya ke kursi paling depan. "Aria, ayo kita di sini saja!", serunya sambil berlari dan menarik adiknya. Mereka pun berhasil mengambil tempat terdepan.

"uwaaa... Jadi nggak sabar!", ucap Arren gembira seperti anak kecil. "ya--ya...", Aria mencoba menguatkan hatinya dan menghentikan detak jantung berlebih. Tapi, tetap saja dia gugup.

Minachi menarik tangan Aria dan membawanya ke kursi paling ujung. Refleks, Aria menggandeng Arren juga. Eh, itu terjadi tidak ya, wahai PM Aria dan Arren?

Begitu sampai pada kursi yang dimaksud, Minachi langsung mengambil posisi duduk nyamannya. Tanpa disuruh penjaganya, dia langsung memasang pengaman. Ia memasang pose *laplz* ketika menunggu.

Kapal buatan itupun akhirnya bergoyang, tapi dengan kecepatan yang normal, tapi sanggup membuat penaiknya merasakan pemanasan, dan akhirnya bergerak dengan cepat...

"GYAAAAAAAAAAAAH!!", jeritan gadis-gadis muda yang entah kenapa suaranya bisa melengking dengan sangat tinggi menggema lepas di udara. Tak terkecuali, Aria dan Minachi. Jeritan apakah itu? Itu adalah jeritan takut, tegang, dan senang.

Arren memakai kesempatan itu untuk menggenggam tangan Aria dan memberinya support batin. "tenang saja Aria, ada kakak disini...", ujarnya sok tenang. Bah, cari-cari kesempatan. Padahal, suaranya tenggelam dalam jeritan-jeritan itu.

"KYAAAAAAAAAA!!"

"KYAAAAAAAAAA!!"

"KYAAAAAAAAAAAAAAAA!!"

Jeritan-jeritan itu selalu terlepas dari bibir tiap kapal ini diayun. Terus, terus begitu sampai akhirnya wahana ini melambat dan berhenti.

'pssshh...' <
"fu--fueeeh...", desah Aria pusing. Tubuhnya baru saja diombang-abingkan teknologi. Untung saja mereka tidak menaikinya setelah makan. "gi... La... Seru juga..."

TSUYOGARI DAAAA!!

Sehabis wahana itu berhenti, Minachi menarik nafas dan...

"AHAHAHAHAHAHAHA!!!"

Minachi tertawa sepuas-puasnya, sekeras-kerasnya, selama-lamanya. Entah itu tertawa apa, apakah itu ekspresi untuk orang yang hampir saja naik kapal yang berputar 360 derajat? Setelah Minachi menginjakkan kakinya di lantai aspal tempat ini, ia menghentikan tawanya dan menunjuk sesuatu, sesuatu itu adalah wahana yang lain.

"Ayo, selanjutnya yang itu!" Seru Minachi sambil menunjuk Tornado.

Ya, itu.

Duduk di sebaris panjang kursi berpengaman, diangkat ke udara, diputaaar!! Horizontal!! Diagonal!! Lalu muntah!!

Itulah penjelasan singkat wahana ini, berdasarkan asumsi mata mereka.

"oh... My... Fucking... God...", gumam Aria pelan. Rasanya, kakinya sudah kehilangan kekuatan. Kakinya seperti pingsan berdiri, dan karena itulah dia masih berdiri dengan tidak tegak. Wajahnya pucat. "benar-benar teknologi yang mengerikan... Memang seru, tapi...", pikiran itu berkecamuk seirama dengan tiap detakan jantungnya. "... Haruskah...?"

Arren tanggap saat melihat ekspresi Aria yang jelas menyatakan ketidak-sanggupan. Bahkan, sekalipun Aria memaksa ingin naik, dengan kondisi seperti itu Arren pasti melarangnya. Dia terlalu lemah untuk tantangan hidup ini. Dan saat itulah, Arren mencetuskan sebuah ide.

"a--ah, kayaknya udah jam makan siang. Pantas saja aku lapar...", ujarnya berpura-pura lapar. Dia memegang perutnya yang tidak berbunyi. "si perut karet itu pasti sudah lapar sekarang, dan itu bisa kupakai untuk menyelamatkan Aria!". Arren sekarang melihat Minachi sebagai villain, orang jahat yang mau mencelakakan adiknya. Dan keberadaan maid mereka yang tipis sama sekali tidak membantu.

Tapi, dia harus menyelamatkan adiknya! Dan kemudian kembali lagi ke sini saat sudah siap.

"gimana kalau kita cari makan dulu? Nanti, kalau energi sudah terisi ulang, baru kita main lagi. Lagian, kalian haus kan? Tadi teriak sampai segitunya, pasti kerongkongan kalian kering", kata Arren dengan nada penuh perhatian.

Quote :

"gimana kalau kita cari makan dulu? Nanti, kalau energi sudah terisi ulang, baru kita main lagi. Lagian, kalian haus kan? Tadi teriak sampai segitunya, pasti kerongkongan kalian kering",

Minachi menurunkan semangatnya, matanya mulai menyembab seperti biasanya. Ia terdiam sebentar, menunggu koneksi otak dengan perutnya tersambung dan merespon.

Kruyuuk~

Hem,

"Oke, tapi harus cepat, masih ada banyak mainan yang belum kita coba" Ujar Minachi lebih pelan dari yang sebelumnya. Tampaknya Minachi tidak terlalu keberatan menunda waktu bersenang-senangnya untuk makan. Keduanya berkekuatan seimbang.

Minachi melangkahkan kakinya menuju meja-meja piknik yang didirikan disekitar food court. Mengistirahatkan kakinya yang daritadi lelah berdiri antre. Matanya tetap menangkap wahana-wahana yang masih dalam rencananya untuk dinaiki. Begitu yang lainnya juga menghampiri Minachi, Minachi mengangkat dagunya dan menatap Arren.

"Makan apaan kita sekarang?"

tangan Lucielle mengipas-ngipas sembari ia terus memperhatikan orang yang lewat.
Tersesat itu tidak menyenangkan.. Untungnya, ia membawa uang, jadi bisa jajan sedikit. Ia menggenggam sebuah es krim cone ditangan kanannya.

Lucielle pun berinisiatif untuk mencari ke foodcourt, berhubung sudah jam makan siang. Kalau ia tidak menemukan mereka, mungkin Lucielle akan mencoba beberapa wahana, atau pulang ke hotel.

Seperti yang ia duga, tiga anak remaja itu duduk di area foodcourt, sedang memesan makanan. Tapi tampaknya Minacih tidak terlalu bersemangat untuk makan, matanya kadang melirik beberapa wahana yang terlihat menyenangkan baginya

"Bagaimana permainannya?"Lucielle langsung menarik salah satu kursi dan mendudukinya

"akhirnya yang bawa uang datang juga!", seru Arren senang. Dia sangat beruntung karena tidak perlu menerima cercaan Minachi karena tidak membawa uang. Lucielle yang dari tadi hilang juga sudah kembali pada kedua majikannya.

Arren pun menjawab pertanyaan Minachi yang sempat ditundanya, "kan disini tokonya banyak, jadi suka-suka aja. Kalau mau tinggal beli, makanannya lain juga nggak apa-apa". Kebebasan memilih pun dia berikan pada anggota lainnya, walaupun sebetulnya tidak perlu dia berikan. "nah, satu orang jaga di sini, terus yang lain cari makanan. Sekalian beliin buat yang jaga", komando satu-satunya lelaki di grup mereka.

"oke, kamu tunggu di sini, kita cari makanan", ujar Aria yang segera berdiri dari kursi untuk mengamankan posisinya. "aaah... Ya sudahlah, aku pesan apapun yang kamu pesan, deh", balas Arren. Senyumnya membuat Aria agak kesal, tapi dibiarkannya saja kekesalan itu. "ya sudah, nanti kupesankan yang aneh"

"ah, jangan dong! Aria jahat~", goda Arren, yang sebenarnya tidak membuat keadaannya lebih baik. "beneran kupesenin yang aneh, nih!!", ancam Aria untuk mengehntikan Arren. Rencana sukses.

"disamain aja, Ar... Atau nggak aku ikut nih"

"nanti siapa yang jaga?!"

"kamu"

'bletok', pendaratan tinju sukses. "diam disini!!", seru Aria mulai marah, dia pun meninggalkan meja untuk mencari makan.

"adududuh... Kok dia manis banget, sih. Enak dijahilin~", gumam Arren pelan, sangat pelan

Lucielle yang sudah biasa akan pertengkaran kakak yang agak perv dan adik yang Tsundere ini hanya memperhatikan mereka dengan tatapan datar. Mengapa susah-susah bertengkar, padahal Lucielle pun bersedia menjaga tempat itu, toh dia tidak perlu makan.

"Sudahlah, master.. Aku akan menjaga meja ini" Lucielle menghela nafas, berharap pertengkaran bodoh keduanya itu berakhir. Lagipula mereka sering dikira orang pacaran jika terus seperti itu. Seharusnya mereka sadar...

Dengan sedikit berat hati Minachi beranjak dari kursinya, namun matanya tidak berada diantara partynya, melainkan pada wahana-wahana lainnya yang belum ia coba. Sepertinya ketertarikannya sudah berubah.

Ah jangan deh, itu OOC, lebih baik tetap pada makanan. Makanan menyehatkan, oh oke, ini mulai OOT, sebenarnya si PM lagi manjang-manjangin aja.

"Oke, terserah siapa yang mau jaga, aku pesan makanan ya" Ujar Minachi sambil menyusul Aria.

"ah, bener nih?", tanya Arren tak percaya, namun penuh harap, pada secercah harapan yang datang dari bibir Lucielle. Tapi, apalah gunanya pertanyaan itu kalau yang bertanya pun bahkan tidak menunggu jawaban. "kalau begitu... Tunggu kakak, Ariaaaa!!", serunya sambil langsung berlari secepat eyeshield 21 untuk meng-glomp Aria.

'glomp!!'

"bhu-- Arren?!", Aria yang napasnya sempat terpotong segera mendorong wajah Arren yang menempel pada punggunggnya. "ngapain kamu disini?!"

"katanya Lucielle mau jaga meja. Aku lupa, dia kan nggak makan", jawabnya tenang sambil melepas pelukannya. "habis dia iblis, sih".

"... Sial... Cih!", decak Aria dalam hati. Mau tak mau, dia pun harus diekori Arren dalam perjalanannya mencari makan siang. Yah, rasa kesal itu hilang dalam hitungan menit, sih.

Mata mereka menjelajahi tiap huruf yang terpampang. "burger", "mie goreng", "nasi timbel"... Nama-nama yang asing. Yang tidak asing di mata mereka paling hanya "fried chicken", tapi itu tidak kedengaran menarik di telinga mereka. Tentu saja, banyaknya varian makanan yang ditwarkan membuat mereka bingung.

"hmm... Makan apa, ya?", gumam Aria pelan. Sementara itu, Arren mencari informasi dengan lebih aktif. Dia menyanyakan komposisi dari makanan-makanan yang menarik minatnya. "kalau begitu, aku pesan nasi timbel satu!", ujarnya setelah mencari keputusan. "terus, minumnya es cincau hijau. Aria mau apa?"

"eh?!", Aria kaget mendengarnya, dan dia belum mendapat keputusan sama sekali. Mau pesan yang sama, gengsi. Mau milih, bingung. Aria pun makin bingung.

"ah, pesanannya didobel aja deh, pak. Nasi timbelnya dua, satu lagi minumnya es cendol", putus Arren sepihak. "eh?! Tunggu dulu!!", sungguh pencegahan yang terlambat. Bon sudah di tangan Arren. "nggak masalah kan, kalau kupesankan nasi?", tanyanya. "kan makanan khas negara ini"

"iya, tapi-- ah, sudahlah!", Aria pun menyerah terhadap "bubur" ini. Dengan berat hati dan sedikit kelegaan, dia pun kembali ke meja bersama Arren.

Minachi menyusul kakak beradik itu dengan 5 potong kebab dan segelas besar jus melon. Jangan salah sangka, 5 potong kebab itu bukan untuk partynya, tapi untuk dirinya sendiri. 15 menit cukup untuk menghabiskan kelimanya, dan 'membocorkan' gelas jus melonnya.

Setelah Lucielle mengkonfirmasi bahwa pesanan-pesanan sudah dibayar, Perut juga sudah terisi, Dahaga teratasi, maka...

"Yak!! Saatnya main lagi!!!" Seru Minachi 1000% lebih semangat dari yang tadi, telunjuknya mengarah pada Tornado.

Minachi sudah benar-benar kasmaran semangat 1000% seperti judul anime yang dipelesetkan. Sayangnya, Aria dan Arren yang baru saja makan siang SAMA SEKALI tidak menganggap kalau naik wahana yang memutar-mutar tubuh bukanlah hal yang baik dilakukan setelah makan. Uang mereka akan terbuang percuma untuk sesuatu yang akan keluar dari pintu masuk beberapa saat lagi.

"hei, Minachi... Apa nggak lebih baik kita cari yang lebih tenang dulu?", tawar Arren. "kita baru makan, kan? Nanti kita muntah kalau langsung naik benda kuning yang berputar-putar itu"

Arren sudah siap kalau anak di depannya mulai marah lagi. Dia juga sudah terbiasa melihat wajah masam yang siap menghajarnya. Sangat sering. Tapi tetap saja, demi kesehatan mereka, mereka tidak boleh langsung naik pengocok perut itu. Bahaya kalau mereka jatuh sakit di sini, karena uang mereka bisa langsung banyak terkuras.

"lagipula, tempat ini luas. Pasti ada wahana yang tidak bisa terlihat dari sini, kan? Bagaimana kalau kita melihat-lihat yang lain dulu atau naik permainan yang lebih tenang sambil menunggu makan ini turun?", saran Arren lagi

Quote :

"lagipula, tempat ini luas. Pasti ada wahana yang tidak bisa terlihat dari sini, kan? Bagaimana kalau kita melihat-lihat yang lain dulu atau naik permainan yang lebih tenang sambil menunggu makan ini turun?", saran Arren lagi

Kelopak mata Minachi turun sampai setengah bagian. Senyumannya yang terus mengembang berubah menjadi cemberut. Dalam waktu setengah menit ia mencari alasan tepat untuk meruntuhkan niat Arren. Alasan tepat, ...dan logis.

"Soal makanan turun itu urusan gampang, waktu untuk mengantre kan cukup lama untuk membuat makanan yang dimakan tadi tercerna dengan benar... jadi tidak usah meributkan soal itu!" Itu dia alasan Minachi, logis kan?

"Yang lebih tenang itu nggak asik! Yang naik cuma bayi, ...ATAU NGGAK BANCI KAYAK KAMU, AHAHAHAHAHA!!!" Virus troller PM menjangkau jaringan internet, berubah menjadi pertikel elektron dan sampai pada sifat seorang virtual karakter bernama Minachi.

Victory hell yeah.

Diluar dugaan, reaksi Arren sangat garing. "memang 'umurku' baru dua tahun, bukan?", pikirnya. "yah, bisa 15 bisa 2 sih...". Dia juga tidak habis pikir, kenapa Minachi senang sekali mengantre?

"yah, terserahlah...", ujar Arren menyerah. Dia sudah malas berurusan ataupun memperpanjang masalah. "ayo kita antri".

Mereka pun mendatangi antrian panjang Tornado dan berdiri menunggu giliran. Satu kebosanan menunggu. Makanan yang belum turun masih terasa berat memang, namun mau bagaimana lagi. Mau meninggalkan Minachi sendirian? Bukan masalah secara personal, tapi akan jadi masalah kalau dia hilang.

"oke... Apa yang harus kulakukan untuk membunuh kebosanan ini?", gumam Arren dengan terjemahan utuh. Ada Aria di sebelahnya, tapi mau dia apakan adiknya itu? Mungkin lebih baik kalau dia memulai topik pembicaraan?

"Aria, Aria sayang~ makananmu sudah turun?", pertanyaan yang panggilannya tidak terdengar normal, tapi tetap dia utarakan. "jangan panggil aku begitu!! Menjijikkan!!", jerit sang adik marah.

'jreb'

Arren pun memutuskan untuk diam dalam kebisingan. Terdengar ironis. Tapi, karena lama tenggelam dalam kegalauan itulah, waktu terasa berlalu lebih cepat dari seharusnya.

"oi, ayo naik!", seru Aria sambil menarik tangan Arren. "hah? Oh, sudah ya?", ujarnya dengan semangat yang kembali. Mungkin karena Aria sedang memegang tangannya. Oh, sungguh adegan langka.

Skipskip, sekarang mereka sudah terikat dengan baik di atas kursi tornado. Mesin itu pun dijalankan. Seperti tadi, awalnya pelan, tapi kengeriannya pun dimulai tak lama kemudian.

"kyaaaa!!"

Aria menjerit. Mereka diputar di udara, berhenti sedetik, dan diputar ke arah berlawan. Hal itu terus berulang, hingga mesin itu berhenti. Ya, BERHENTI DI UDARA.

"....."

"...macet?"

"......"

"benda ini... MACET?!"

"Kok macetnya disaat seperti ini sih??!" Minachi meronta-ronta dalam posisi kepala yang dibawah.

Orang-orang yang lainnya sudah beriuh rendah atas insiden ini. Orang-orang dibawah juga ikut menjerit tidak kalah kerasnya dari yang menaiki. Sementara itu, para operator Tornado itu panik dan berusaha memperbaiki kondisinya seperti semula. Entah membutuhkan waktu berapa lama untuk kembali seperti semula.

Minachi bergumam "Tiba-tiba aku mual..."